SHARE

Ilustrasi

Akan tetapi, kata dia, meskipun kasus tersebut memiliki jumlah yang signifikan, DPR justru menghapus pasal mengenai pemerkosaan pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Adapun alasan dari penghapusan pasal mengenai pemerkosaan, kata Asfinawati melanjutkan, adalah karena kasus pemerkosaan akan dibahas oleh pembentuk undang-undang saat menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Padahal, di dalam undang-undang lain ada undang-undang induk, tetapi juga ada undang-undang khususnya yang tetap bisa direvisi,” ujar mantan Direktur YLBHI periode 2017-2021 ini pula.

Selain bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan, Asfinawati juga menjelaskan terdapat empat bentuk lainnya yang tidak dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bentuk-bentuk tersebut meliputi pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, serta perbudakan seksual.

Para penyusun rancangan undang-undang juga tidak mencantumkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan jumlah kasus yang ditangani oleh YLBHI, KBGO menempati posisi keempat terbanyak, yakni 52 kasus pada 2021.

“Kasusnya ada, tetapi pasal itu hilang,” ujar dia lagi.

Data kasus YLBHI pada 2021 menunjukkan terdapat 526 tindakan kekerasan seksual dengan korban yang berjumlah 239 orang. Angka tersebut menandakan bahwa terdapat korban yang mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.

Oleh karena itu, Asfinawati berharap agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)dapat segera disahkan untuk mengatasi situasi darurat kekerasan seksual yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.

MPR Minta Jangan Abaikan Perlindungan Korban

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang didesak untuk dipercepat sejumlah kalangan, jangan sampai mengabaikan kepastian hukum dan perlindungan bagi korban.

"RUU TPKS yang saat ini masih menunggu proses diajukan ke rapat paripurna untuk disepakati sebagai RUU inisiatif DPR, memang memuat aturan yang menyeluruh dalam penanganan kasus kekerasan seksual," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (7/1/2022).

Dia menilai komitmen sejumlah pihak untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS, harus tetap berpegang pada tujuan bahwa produk UU yang dihasilkan mampu menjadi dasar bagi para penegak hukum untuk menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual secara komprehensif.

Halaman :