SHARE

pengerajin rotan di Desa Bantunan

Penulis : Soufie Retorika

CARAPANDANG(LAHAT) - Kabupaten Lahat memiliki 24 Kecamatan dengan 360 desa yang tersebar merata di sepanjang Bukit Barisan bagian selatan. Kondisi Desa di Bumi Seganti Setungguan (julukan Kabupaten Lahat), banyak memiliki potensi sumber daya alam, sumber daya manusia namun masih kurang dikembangkan.

Menurut data dari Kantor statistik terbaru, bahwa di Kecamatan Pajar Bulan ada industri anyaman rotan sebanyak 19 usaha yang berada di desa Bantunan dan desa Pajar Tinggi, desa ini berada di paling ujung kecamatan tersebut.  Sayangnya industri kerajinan rotan ini tidak ditopang perdagangan yang baik. Usaha anyaman turun temurun yang masih bertahan dan tertatih-tatih dalam penjualannya sebab, jauhnya pusat perdagangan. Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan Pasar Kalangan saja, sebab hanya seminggu sekali saja pasar tersebut di Desa Tongkok dan ibukota kecamatan saja.

Produk anyaman rotan ini berbentuk bakul, kinjar, bake, dan piring rotan saja saat ini. Dipasarkan ke Pagaralam selain ke Kota Lahat saja saat ini, bahkan anyaman tikar purun yang selama ini biasa mereka buat sudah kesulitan mendapatkan bahan baku purun dan sudah ditinggalkan pengrajinnya.

Kesulitan bahan baku rotan pun terjadi saat ini, yang sudah tidak banyak lagi dijumpai di Bantunan. Pengrajin tradisional ini membeli dari Tanjung Sakti, Muara Payang, Empat Lawang hingga ke Manna, Bengkulu Selatan. Meski cukup jauh mereka mendapatkan bahan baku rotan, tetapi tetap mereka beli. Sebab saat panen kopi seperti sekarang,peralatan kinjar sangat laku dibeli masyarakat.

Penulis melakukan perjalanan ke Kecamatan Pajar Bulan tepatnya Desa Bantunan, selama sekitar 2 jam dari Kota Lahat. Desa Bantunan yang kami singgahi sejuk, pemandangan kaki Gunung Dempo, kebun kopi terutama yang kini tengah memanen mulai Maret 2022 ini terasa indah, masih ada beberapa dahan yang bermunculan bunga kopi putih yang mewangi.

“Setiap rumah di Bantunan rata-rata bisa membuat kerajinan rotan ini, tapi tidak banyak yang menjadikan mata pencarian, sebab agak sulit memasarkannya,” kata Nuraini (30) salah seorang warga Desa

Menjadi pekerjaan musiman sebab saat panen kopi banyak pembeli kinjar dan bake yang dijual mulai Rp 50.000,- hingga ratusan ribu sesuai dengan besar kecil yang dipesan, tambah Nuraini.

Tidak adanya koperasi yang menampung untuk menyalurkan anyaman mereka, dan teknik menganyam mereka juga masih sangat sederhana, intinya mereka butuh bimbingan juga. Warga sangat setuju jika bimbingan dan pemasaran yang terarah ke depan bisa mempertahankan usaha turun temurun supaya tak punah.

“Dulunya memang menjadi sentra industri anyaman rotan di sini. Yang sudah jarang nganyam tikar purun, dekbedie bahannye,” tutur Maroni (60).

Industri kecil seperti ini jika dijaga bisa menurunkan angka kemiskinan sebab rakyatnya sudah mempunyai kemampuan,ketrampilan alami. Tinggal mempertahankan dan memoles kemampuan masyarakat lebih baik lagi.(*)