SHARE

Istimewa (Net)

CARAPANDANG -  Oleh: Amir Fiqi, pemerhati politik dan sosial

Mengejutkan dan tidak pernah terbayangkan Anies Baswedan akan dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar menjadi capres-cawapres pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Mengapa ini mengejutkan? sebab, selama ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah partai politik yang tegak lurus meneruskan kerja rezim Jokowi, sementara Anies adalah capres yang diusung oleh NasDem memiliki garis perjuangan yang ingin membawa perubahan dan perbaikan bagi bangsa Indonesia, yang berarti Anies adalah antitesis Jokowi.

Selain itu, Muhaimin atau yang akrab disapa Cak Imin juga sudah menjalin hubungan lama dengan Prabowo Subianto dalam satu koalisi yang mereka namakan dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Bahkan, kerap digadang-gadang akan  menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Tapi, hubungan harmonis keduanya berubah setelah PAN dan Golkar memutuskan bergabung dan secara tiba-tiba tanpa sepengetahuan PKB, Prabowo mengumumkan nama koalisi yang baru yaitu Koalisi Indonesia Maju.

Inilah politik yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Sebab, hakikat politik adalah bagaimana cara untuk mencapai tujuan. Sehingga dalam proses politik tersebut adalah bagaimana mempertemuan kepentingan yang berbeda. Jika kepentingan tersebut bertemu dan dianggap akan menghantarkan pada kemenangan maka tidak ada lagi sekat atau batas untuk membangun kerjasama.

Tapi, selama pasangan Anies - Muhaimin belum secara formal diresmikan sebagai pasangan  capres-cawapres kemungkinan perubahan masih bisa terjadi. Sebab politik itu cair dan dinamis sehingga akan terus melihat perubahan arah mata angin yang akan menuntun pada tujuan,  kemenangan pada kontestasi Pilpres.

Strategi politik

Kabar Anies yang akan dipasangkan dengan Muhaimin pada Pilpres 2024 tidak hanya mengejutkan publik Indonesia. Ini juga menjadi kabar yang sangat menyakitkan bagi Partai Demokrat.  Berbeda dengan PKS yang bersikap sangat  santai dalam  menyikapi kabar tersebut.  

Sangat wajar jika Partai Demokrat merasa disakiti, bahkan merasa dikhianati. Sebab, selama ini partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan kekuatan politik yang cukup massif dalam membela Anies melawan serangan-serangan “musuh” yang berusaha untuk menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Anies.  Bahkan, setelah Koalisi Perubahan terbentuk Demokrat sangat fokus mempromosikan sosok Anies melalui baliho dan spanduk yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Tentunya, apa yang dilakukan oleh Demokrat tujuannya sudah jelas, yakni berharap Koalisi Perubahan akan mengusung AHY, Ketua Umum Partai Demokrat sebagai cawapres yang dipasangkan dengan Anies. Namun, upaya yang selama ini dilakukan nampaknya  sia-sia setelah mendengar kabar bahwa Anies akan dipasangkan dengan Muhaimin.

Tapi perlu dicacat, selama Anies-Muhaimin belum secara formal dideklarasikan dan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pasangan capres-cawapres segala kemungkinan masih bisa terjadi. Dan  bisa jadi duet Anies-Muhaimin yang telah tersebar luas ini menjadi bagian dari strategi politik yang sedang dimainkan oleh Ketua Umum NasDem, Surya Paloh. Strategi politik yang dimaksud penulis ada dua yaitu pertama, berusaha meningkatkan elektabilitas Anies, kedua, memancing respon publik atau testing the water.   

Pertama, berusaha  meningkatkan elektabilas Anies. Sejumlah lembaga survei menyebutkan elektabilitas Anies selalu menempati peringkat ketiga, belum bisa mengejar Prabowo dan Ganjar yang menempel ketat pada peringkat pertama dan kedua. Maka itu, upaya-upaya untuk meningkatkan elektabilitas Anies Baswedan akan terus dilakukan.

Cara untuk meningkatkan elektabilatas salah satunya adalah bagaimana Anies terus menjadi pusat perbincangan di tengah publik. Melalui pemberitaan-pemberitaan tersebut Anies akan selalu diingat oleh masyarakat. Efeknya dari pemberitaan yang selalu hangat inilah akan menimbulkan rasa penasaran terhadap sosok Anies, hal ini sangat menguntungkan sebab masyarakat yang belum menentukan pilihannya  akan menggali  lebih dalam terkait sosok Anies. Jika informasi yang didapat lebih banyak positif mereka akan menjatuhkan pilihannya kepada Anies.

Kedua, memancing respon publik atau testing the water. Melalui strategi ini Surya Paloh  ingin membaca respon publik, apakah dengan mengusung duet Anies-Muhaimin akan direspon secara negatif atau positif. Selain itu, cara ini juga bisa menjadi cara untuk memancing kandidat lain yaitu Prabowo dan Ganjar untuk segera memutuskan siapa cawapres mereka. Sebab, hingga saat ini baik Prabowo dan Ganjar masih galau untuk menentukan siapa yang menjadi pendamping mereka.

Hal ini sangat penting, dengan mengetahui siapa cawapres masing-masing kandidat ini menjadi bahan untuk memetakan kekuatan politik. Sebab, jika memilih cawapres yang tepat akan bisa membantu perolehan suara pada Pilpres 2024.

Cak Imin dan suara NU

Jika duet Anies-Muhaimin benar-benar terjadi maka ini sangat menarik, sebab peta politik akan lebih cair. Ternyata jargon perubahan dan perbaikan yang ditawarkan oleh Anies bisa diterima oleh partai koalisi pemerintah yang lain, yaitu PKB. Ini akan menjadi jualan politik tersendiri.

Meski politik berbicara tentang kepentingan, tapi ini akan menjadi dalil untuk memperkuat bahwa benar rezim Jokowi telah “gagal”. Ini akan akan menjadi senjata baru untuk menyerang capres yang ingin melanjutkan kerja-kerja rezim Jokowi, yakni Prabowo dan Ganjar. Sehingga berbagungnya Cak Imin (PKB) dalam koalisi perubahan ini semakin memperkuat, bukan malah memperlemah.   

Selain itu, kekuatan dari NU juga harus menjadi pertimbangan. Meski secara struktural NU tidak mewajibkan memilih PKB, tapi secara kultural PKB masih mendapat tempat tersendiri bahwa warga NU. Terbukti dari setiap pemilu PKB selalu mendapatkan suara yang lumayan di parlemen.  Hal tersebut juga membutktikan bahwa tuduhan Cak Imin telah  merebut PKB dari tangan  Gusdur tidak signifikan mempengaruhi suara PKB.

Maka dengan menggandeng Cak Imin sebagai cawapres dimungkinkan mampu  mendongkrak perolehan suara khususnya dari warga Nadhiyin. Kerja-kerja kultural dari kyai-kyai NU akan bekerja lebih massif memperjuangkan kader terbaiknya duduk sebagai orang nomor 2 di RI.

Terkait kasus Cak Imin, yang dikenal dengan kasus Kardus Durian bagi penulis tidak berpengaruh besar. Sebab itu hanya sekadar “omongan-omongan” yang tidak bisa dibuktikan. Buktinya sejak kasus itu bergulir sudah lebih dari sepuluh tahun tidak bisa dibuktikan.

Sehingga bisa disimpulkan sementara, peluang duet Anies-Muhaimin memiliki peluang yang besar untuk memenangkan Pilpres 2024. Dengan kekuatan basis masa yang besar yakni NU duet ini akan menguasai perolehan suara di Jawa Timur dan bisa mengimbangi suara Ganjar di Jawa Tengah yang disebut sebagai kandang Banteng. 

Tags
SHARE