SHARE

istimewa

CARAPANDANG - Festival film tahunan Sayama De Sinema yang diselenggarakan atas kerja sama antara Seibu Bunri University of Hospitality dan KBRI Tokyo kembali menarik perhatian ratusan warga Jepang yang hadir di Kota Sayama, Jepang. Festival film mini yang telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut, dipandu oleh mahasiswa dari Bunri University of Hospitality.

Misi awal festival ini adalah memberikan kesempatan bagi warga Sayama untuk menikmati film-film pemenang penghargaan dari festival-festival internasional seperti Tokyo International Film Festival (TIFF) dan FILMeX. Film tersebut biasanya sulit diakses karena kota Sayama tidak memiliki bioskop. Selain itu, acara ini juga bertujuan untuk mempererat hubungan antara mahasiswa universitas, pemerintah daerah, dan masyarakat sekitar.

Tahun ini, dalam peringatan hubungan diplomasi ke-65 antara Jepang dan Republik Indonesia, film Indonesia menjadi tema khusus dalam festival ini. Kerja sama yang telah terjalin antara Seibu Bunri University of Hospitality dan PT Produksi Film Negara (PFN) menjadi gagasan utama untuk menyelenggarakan kegiatan.

Pada Sabtu, 16 September 2023, film pertama yang diputar adalah "Autobiography" karya sutradara Makbul Mubarak. Film ini merupakan sebuah drama cerita seru Indonesia yang tayang perdana secara internasional di Festival Film Venesia 2022. Kemudian, penonton diajak mengeksplorasi film "LAUT (Umi o Kakeru)" karya sutradara terkenal Kōji Fukada, sebuah kolaborasi antara Indonesia dan Jepang yang mengambil latar alam dan masyarakat di Banda Aceh.

Film ini menceritakan kisah seorang lelaki misterius yang muncul di pesisir pantai sekitar Banda Aceh, yang diperankan oleh selebriti Jepang terkenal Dean Fujioka yang memiliki istri asal Indonesia. Sekitar 300 penonton hadir dan terpesona oleh keindahan laut Aceh dan Sabang yang ditampilkan dalam film ini.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan Yusli Wardiatno yang hadir sebagai wakil dari KBRI Tokyo dalam sambutannya di depan seluruh penonton menyampaikan bahwa aktivitas pertukaran budaya melalui pemutaran film ini merupakan perekat dalam hubungan antarnegara dan bangsa.

“Kalau saya ibaratkan Indonesia dan Jepang sebagai amplop surat dan perangko. Maka kegiatan budaya melalui pagelaran seni budaya, pemutaran film atau pembelajaran bahasa adalah lem perekat yang membuat perangko dan amplop surat saling melengkapi dan tak terpisahkan,” terang Yusli.

Dari pemutaran film Indonesia, kiranya warga Jepang mendapatkan dengan lebih mudah pemahaman, pengetahuan dan pendidikan tentang Indonesia yang pada gilirannya akan meningkatkan ketertarikan untuk lebih mendalaminya melalui pendidikan ataupun datang ke Indonesia.

Sementara itu Rektor Seibu Bunri University of Hospitality Kazuhiko Yamaki dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada KBRI Tokyo atas dukungannya pada program-program kebudayaan yang dilakukan di sekolah dan Kampus Seibu Bunri.

“Indonesia adalah negara besar, dan kami berterima kasih pada KBRI Tokyo dan PFN atas dukungannya dalam Sayama De Sinema. Film adalah jembatan yang memungkinkan kita berbagi empati dan emosi lintas generasi. Di saat dunia dilanda kecemasan di beberapa tempat, kami berharap festival film ini akan menjadi tempat dimana kita dapat terhubung ke semua orang melalui film,” tutur Rektor Yamaki.

Setelah penayangan kedua film tersebut, diadakan gelar wicara (talk show) dengan Programming Director Tokyo International Film Festival, Shozo Ichiyama dan sutradara "LAUT" Koji Fukada. Ichiyama Shozo merupakan orang yang merekomendasikan pemutaran film "Autobiography" di festival Sayama. Film tersebut pernah meraih penghargaan di FILMeX. Sutradara Fukada menceritakan pengalaman pribadinya di Aceh yang menginspirasinya untuk mengambil cerita universal dengan latar belakang Tsunami.

"Saya ingin menekankan bahwa sebagai manusia kita memiliki keterbatasan, dan kita tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Yang pasti, Tsunami tidak memilih korban, siapapun bisa menjadi korban. Bagaimana kita meresponsnya adalah yang membedakan manusia berdasarkan budayanya," jelas Fukada.

Festival Sayama De Sinema telah membawa budaya dan keindahan film Indonesia ke hati warga Jepang, menunjukkan bahwa sinema adalah bahasa universal yang dapat menghubungkan berbagai budaya dan negara. Pada hari kedua, festival ini dilanjutkan dengan pemutaran film "Filosofi Kopi" (2015), yang memberikan pengalaman sinematik mendalam bagi penontonnya. dilansir kemdikbud.go.id

Tags
SHARE