SHARE

Arif Yudistira

CARAPANDANG- Oleh: Arif Yudistira, Penulis buku Momong (2021), Guru di SD Muhammadiyah  MBS Prambanan

Mentari baru saja terbit. Tetapi seketika mendung datang menutupinya, kini langit pun gelap kembali. Gambaran tadi selaras dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.

Saat ia hendak merangkak dan berjalan menghadapi dunia yang cukup kompleks, ia dihantam kembali dengan badai pandemi gelombang kedua dengan adanya virus omricon yang cukup banyak menimbulkan korban juga. Meski tidak sedahsyat  gelombang pertama virus korona, virus omricon tetap patut diantisipasi dan diwaspadai.

Saat pemerintah baru saja menetapkan pendidikan tatap muka terbatas (PTMT), kini pemerintah harus menetapkan kembali untuk pembelajaran daring kembali. Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari jatuh korban dari anak-anak kita yang masih sekolah baik usia belia hingga mahasiswa.

Meski berat, kebijakan tersebut ditempuh untuk mengantisipasi dan menghindari jatuhnya korban lebih banyak. Masyarakat jelas merasa keberatan, dan merasa anak-anak mereka harus menghadapi rutinitas dan problem belajar yang cukup kompleks. Maklum, orangtua sekarang hampir rata-rata pekerja di sektor industrial yang membuat mereka menyekolahkan anak di sekolah sehari penuh. Ketika anak-anak mereka harus kembali ke rumah untuk belajar daring, maka orangtua harus menerima kebijakan pembelajaran jarak jauh lagi.

Siasat pandemi

Pandemi memang tidak hanya melanda di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia menghadapi tantangan yang sama tentang pendidikan. Daring memang tidak selalu mengenakkan, akan ada keterbatasan dan keterjangkauan pola komunikasi dan interaksi dalam belajar daring. Bagi para pelajar di luar negeri yang sudah aktif dengan gawai atau teknologi sedari dini, mungkin pembelajaran daring adalah hal yang biasa dan menjadi kultur pembelajaran mereka. Sayang bagi anak-anak di Indonesia dengan penuh keterbatasan fasilitas dan juga infrastruktur teknologi untuk pendidikan, hal ini tentu menjadi masalah yang pelik.

Halaman :