SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM - Ahli bahasa dari Universitas Pancasila, Yamin menilai tuduhan adanya unsur kebencian pada cuitan Jumhur Hidayat di Twitter, yang menjadi sumber dakwaan jaksa pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sulit dibuktikan. Pasalnya kata "kebencian"  memiliki makna yang abstrak. 

"Kebencian sifatnya abstrak, tidak konkret," ujarnya saat menjawab pertanyaan Koordinator Tim Kuasa Hukum Jumhur, Oky Wiratama, pada sidang di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (24/5).

Untuk membuktikan secara pasti bahwa suatu pernyataan punya muatan kebencian, menurutnya harus ada pihak tertentu yang menunjukkan keberatan atau tersinggung dengan ungkapan tersebut.

Misalnya  cuitan Jumhur yang menyebut "investor primitif dan rakus", seharusnya  ada kelompok yang disebut Jumhur  yang tersinggung.  "Yang tersinggung yang primitive investor saja, di luar itu (harusnya) tidak tersinggung," ujarnya. 

Berbeda dengan dua persidangan sebelumnya, penuntut umum pada sidang, Senin, menerima keterangan dari ahli bahasa yang dihadirkan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)—nama tim kuasa hukum Jumhur.

Jaksa, dalam kesempatan itu, bertanya mengenai jenis pernyataan pada cuitan Jumhur, kemudian ahli menjawab bahwa ungkapan itu merupakan proposisi atau kalimat biasa yang tidak memuat makna negatif.

Jumhur Hidayat, petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), telah didakwa oleh jaksa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.

Jaksa dalam dakwaannya juga menuduh Jumhur berusaha menciptakan kebencian antargolongan pengusaha dan buruh lewat cuitannya di Twitter.  Terkait dengan dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan atas UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Tags
SHARE