SHARE

Tangkapan layar peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Mardyanto Wahyu Tryatmoko (istimewa)

CARAPANDANG.COM - Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Mardyanto Wahyu Tryatmoko berharap agar penjabat (pj.) kepala daerah tidak mengakibatkan pelemahan lembaga-lembaga pemerintahan lokal.

"Itu jadi concern (perhatian) karena sebenarnya dari prinsip-prinsip demokrasi itu sangat mengindikasikan bahwa kepala daerah harus dipilih oleh masyarakat lokal itu sendiri," kata Mardyanto ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertajuk Kilas Balik Politik Indonesia 2021: Tantangan bagi Penguatan Demokrasi, Keamanan, Diplomasi, Identitas, dan Ekonomi Politik yang disiarkan di kanal YouTube Pusat Riset Politik-BRIN, dan dipantau dari Jakarta, Selasa (14/12/2021).

Kepala daerah yang terpilih melalui proses demokrasi cenderung merupakan seseorang yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat lokal untuk memimpin daerah tersebut sehingga akan lebih mudah untuk mengendalikan masyarakat dan memperoleh dukungan mereka.

Ia menegaskan bahwa penjabat kepala daerah merupakan pengganti sementara bagi kepala daerah yang masa jabatannya akan habis pada tahun 2022 dan 2023 menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2024. Penjabat kepala daerah akan dipilih oleh pemerintah pusat, alih-alih oleh masyarakat lokal.

"Ada sekitar 272 kepala daerah yang harus diganti sementara, dan itu akan menjadi problem ketika pengisian jabatan itu diisi oleh TNI atau Polri dan juga dengan durasi yang sangat lama. Bahkan, ada yang (durasinya) 2 tahun, hampir 3 tahun," ucapnya.

Senada dengan Mardyanto, akademikus Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Valina Singka Subekti mengatakan bahwa wacana rencana untuk menempatkan militer dan polisi aktif sebagai penjabat kepala daerah perlu perhatian khusus.

Wacana rencana penempatan perwira aktif sebagai penjabat kepala daerah telah memunculkan perdebatan di kalangan publik, khususnya yang mengkhawatirkan bangkitnya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

"Dwifungsi ABRI sebetulnya 'kan sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi, persoalan peran sipil dari kalangan militer ini harus diperhatikan," kata Valina.