SHARE

Pandangan jernih, semua menyanjung demokrasi bawa kebaikan, memerdekakan.

CARAPANDANG - oleh Mujamin Jassin (Pemerhati Sosial-Politik)

Pandangan jernih, semua menyanjung demokrasi bawa kebaikan, memerdekakan. Termasuk patut dan cocok dengan aspek makro karakteristik otentisitas keindonesiaan kita. Namun absurd, demokrasi yatim piatu atau tak berdaya, lantaran dikangkangi oleh aktor-aktor politik yang tak mengaplikasikannya secara konsisten.
 
Pada perkembangannya dalam sejarah Pemilu hingga kini, praksisnya demokrasi irasional. Yang berpeluang menangkan demokrasi mengandalkan kepiawaian melambaikan tangan, dan memaniskan bibir. Perebutan kekuasaan ditandai dengan tradisi komersial, pengkultusan politik uang yang membengkak sehingga Pemilu jadi rawan dan mahal. Maka jangan pula heran hasilnya menelorkan pemimpin yang inkonsisten, munafikun yang tidak kredibel (pemimpin abal-abal).
 
Tampak bersaing ketat pada saat kontestasi, tetapi kemudian atas nama diksi rekonsiliasi, atau stabilitas nasional. Ujungnya mereka kembali bermesra dalam koalisi kepentingan, lebih tepatnya kongsi syahwat.Demokrasi jadi ambigu politik akomodasi, terkebiri fungsi demosnya (basis kekuatan kontrol yang paling pokokmembangun negara), tak ada yang mau ambil bagian sebagai oposisi, semua ingin gabung dengan kemegahan-kemewahan kuasa. Hal ini membuat semakin terperosoknya citra orang-orang baik ke dalam lubang hitam oportunisme. Meminjam istilah Buya Syafii terjadi perceraian antara perkataan dengan perbuatan. Meskipun itu tidak ada yang mau mengakuinya.
 
Kompleksitas persoalan demokratisasi yang paling miris, secara harfiah dimana katanya representatif. Pengertiannya saja, belum mutlak substantif, masih dipenuhi paradoksalitas. Sebab keadaan empirik, demokrasi masih alergi dan fobia terhadap ide-ide, atau genre kebaruan politik. Memandangnya ancaman, meredamnya sebelum menjadi populer dan memperoleh atau menghimpun banyak kekuatan.
 
Disini cikal-bakal terjadinya pemarjinalan, penggembosan, penjinakan atau dimandulkannya ragawi politik spiritualitas – religiusitas. Pemutusan hubungan kepada watak yang penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan jangan disangkut-paut dengan yang berbau politik praktis. Biarkan “netral agama”, atau hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual saja.
 
Kartel politik selalu berhasil menyelundupkan cara-cara lama yang menggunakan isu sektarianisme untuk memojokkan spiritualitas politik. Dengan menyertakan berbagai stigmatisasi, yaitu melalui sarkasme penggolongan istilah ‘politik identitas’. Ekspresi kolektif politik yang wajar-wajar saja, mengukuhkan keluhuran, murni ekspresi kebebasan yang bertanggung jawab, memegang teguh asas, berkompetisi sesuai mekanisme, prosedur atau kaidah-kaidah demokrasi.
 
Dikotomis, dengan menyelipkan atau menyeret muatan identitas seakan berpotensi ancaman pada perbedaan. Mengacaukan demokrasi, bersegi tegangnya antara identitas yang akan menghancurkan kualitas toleransi, atau menggiring bangsa ini pada suasana perpecahan. Seolah-olah akan membawa suasana buruk bagi bangsa. Sebaliknya seolah-olah kegiatan politik yang tidak menyentuh identitas dapat menghindarinya.
 
Hal ini sangat tidak adil, faktanya mana mungkin terelakkan pada semua level kompetisi politik secara simbolik penggunaan simbol-simbol, ungkapan-ungkapan kesalehan, mencatutkan nama-nama tokoh religius bahkan dijadikan tameng untuk meningkatkan dukungan politik. Politikus-politikus sowan ke ulama kepentingan popularitas. Sangat aneh sumber daya umat dipakai atau hanya diikutsertakan untuk sekedar menjadi magnet politik.
 
Pendekatan warisan kolonial mencurigai politik identitas akan menantang keadiluhungan pakem ideologi negara. Sehingga membuat nilai religius politik yang esensial ini hanya bergerak pada lingkup arena nonpolitik. Cara ini di masa pra kolonial, seringkali diasosiasikan dalam teori domestikasi. Negara membantu spiritualitas ritual-ritual agama, tapi pada saat yang sama, sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi berkembangnya politik religiusitas.
 
Dominasi politik dengan cara mengkerdilkan golongan politik religius secara fisik tidak diberikan ruang partisipasi, kendati stok sosok religius berkualitas melimpah. Kondisi ini membentuk kekecewaan, demokratisasi akan mengandung resistensi, rawan konflik. Keadaan yang bukan justru dikarenakan adanya polarisasi dan faksionalisasi politik yang diamaterial, tetapi efek dari ketamakan oligarki yang ingin monopoli, terkesan ada rasa keterancaman tidak berkuasanya lagi para sekuler.
 
Terlalu banyak diselewengkan, sekian lama terperangkap dari rangsangan politik yang menjebak. Sudah waktu harus diubah, lekas beranjak bangun kesadaran dari rangsangan politik ketakutan yang berlebihan. Sejalan menyesuaikan diri dengan sistem atau suasana politik modern.
 
Era baru, ragawi politik religius menjadi kampiun demokrasi. Bukan sekedar pelampiasan politik akibat pengalaman pahit mencicipi kemerosotan moral pemimpin nasional. Tetapi membawa masuk religiusitas kedalam lautan arena politik praktis untuk pengabdian kepada negara. Pengabdian keberpihakan yang paripurna sosio-kemanusian bukan satu alasan dangkal periodisasi kekuasaan.
 
Terutama insyaf menyudahi tradisi religiusitas politik yang terlalu lunak, bersikap netral dan enggan lagi mau menjadi pelengkap atau menolak sekedar ornamen politik. Menyudahi tradisi religiusitas kering yang memandang politik lebih sebagai soal duniawi, melainkan politik harus dipandang perpanjangan dari nilai-nilai, ajaran yang standar agama. Sebuah totalitas yang padu terhadap pemecahan persoalan kehidupan kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan.



Tags
SHARE