SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM – Pakar epidemiologi dari Universitas Andalas Defriman Djafri mengatakan perlu kajian mendalam untuk menjelaskan kejadian pembekuan darah yang terjadi pada orang yang telah menerima suntikan vaksin COVID-19 AstraZeneca.

"Jangan sampai kasus per kasus dilaporkan kita sudah mengeneralisasi. Ini yang bahaya, justru perlu kajian mendalam berdasarkan tingkat reaksinya," kata Defriman saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Defriman menuturkan beberapa kasus yang muncul tidak bisa dijadikan dasar untuk mengeneralisasi atau membuat kesimpulan suatu vaksin aman atau tidak. Sementara, manfaat vaksin itu sebenarnya jauh lebih besar daripada risikonya.

Untuk itu, harus ada kajian ilmiah untuk memastikan ada tidaknya keterkaitan antara kejadian pembekuan darah dengan penggunaan vaksin AstraZeneca itu.

"Perlu mengkaji secara ilmiah terhadap kemungkinan adanya hubungan langsung reaksi samping vaksin dengan vaksin itu sendiri," tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, saat ini, vaksin Astrazeneca telah diterima Indonesia melalui COVAX Facility yang diproduksi di Korea Selatan, dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

"Perlu dicatat batch produk vaksin COVID-19 Astrazeneca yang telah masuk ke Indonesia tersebut berbeda dengan batch produk yang diduga menyebabkan pembekuan darah dan diproduksi difasilitas produksi yang berbeda," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (17/3) malam.

Demi kehati-hatian, BPOM merekomendasikan vaksin COVID-19 Astrazeneca tidak digunakan di Indonesia selama masih proses kajian, menyusul isu keamanan pada vaksin tersebut yang akhirnya ditangguhkan di 15 negara.

Penundaan tersebut dilakukan sehubungan karena adanya kasus pembekuan darah yang termasuk dua kasus fatal di Austria dan Denmark yang diduga setelah penyuntikan vaksin COVID-19 Astrazeneca batch tertentu (ABV5300, ABV3025 dan ABV2856).