SHARE

Istimewa (Net)

CARAPANDANG.COM - Bicara masalah pendidikan memang tidak ada habisnya. Pendidikan sebagai peranan penting untuk masa depan dalam kemajuan bernegara.

Tantangan terbesar bagi negara Indonesia untuk selalu mengedepankan pendidikan bagi para anak bangsa. Serta, terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul. Melalui pendidikan yang didapat maka majulah suatu bangsa.

Sebagaimana dalam kutipan Prof Dr Daoed Joesoef yaitu “Pendidikan adalah suatu kunci kemajuan bangsa. Tidak ada bangsa yang maju, yang tidak didukung oleh pendidikan yang kuat”. Perlu diketahui disini bahwasanya pendidikan itu tidak harus tentang sains, matematika, dan lain sebagainya. Akan tetapi, agama juga merupakan pendidikan penting yang harus dipelajari dan diimplementasikan nilai-nilainya di kehidupan sehari-hari.

Dalam pendidikan Islam ada 3 konsep yang menjadi dasar adanya pendidikan Islam. Konsepnya yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Tarbiyah merupakan artian dari kata rabb yang menurut Shihab kata ini diambil dari ayat kedua surah Al- fatihah. Kemudian dari ayat itu menjadi suatu definisi, yang pengertiannya mengarahkan tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian serta fungsinya.

Ta’lim menurut Ridha merupakan suatu proses transisi yang ada di jiwa seseorang tanpa adanya batasan tertentu. Lalu Ta’dib menurut istilah diartikan sebagai proses mendidik yang difokuskan ke pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar. Ketiga konsep ini berhubungan lalu menjadi dasar adanya pendidikan Islam.

Tidak hanya ilmu pengetahuan lain yang harus dilakukan pembaharuan, pendidikan Islam juga begitu. Memperhatikan segala ketertinggalan dan keterbelakangan masyarakat dalam bidang pendidikan Islam. Maka disini akan diulas mengenai moderniasi pendidikan menurut Muhammad Abduh yang tentunya menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang berupaya mencapai segala aspek untuk menopang diri saat menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Akan tetapi, tidak mengubah segala sumber pendidikan serta dalil Al- Qur’an dan Hadist.

Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H di sebuah desa tepatnya di Provinsi Gharbiyyah, Mesir. Muhammad Abduh terlahir dari keluarga yang bekerja sebagai petani.

Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah. Kedua orangtuanya berasal dari Mahallaj Nashr. Pendidikan dasar Muhammad Abduh diawali dengan membaca dan menulis. Lalu ia belajar Qur’an dengan seorang qori’, cukup singkat belajar Al- Qur’an untuk Muhammad Abduh. Dalam waktu 2 tahun ia telah menjadi seorang hafidz Qur’an.

Setelah menghafal, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Thanta. Di Thanta ini ketika ia sedang belajar, ia merasa tidak puas dengan apa yang didapatkannya. Ia tidak puas dikarenakan metode yang diajarkan hanyalah berupa hafalan. Sampai-sampai ia berpikir lebih baik tidak belajar daripada menghabiskan waktu untuk menghapal materi yang tidak dipahaminya.

Tak lama itu, ia memutuskan kembali ke kampung halamannnya dan menikah pada usia 16 tahun. Mendengar hal tersebut, orang tuanya tidak menyetujui dan meminta ia untuk kembali ke Thanta. Dan dengan perasaan terpaksa ia pun kembali, namun di tengah perjalanan bukannya ke Thanta melainkan ia berbelok ke sebuah desa tempat pamannya tinggal. Di desa itu ia banyak membaca buku bersama pamannya.

Setelah ia melanjutkan pendidikannya di Thanta, ia pun kembali menuntut ilmu ke Al- Azhar. Akan tetapi hasilnya sama saja, ia kecewa dengan metode yang digunakan di Al-azhar yang mana metode ini sama dengan waktu di Thanta. Ia menilai metode ini membunuh akal dan nalarnya karena metode ini hanya bersifat verbal. Kekecewaan itu membuat Abduh semakin bersemangat untuk mempelajari berbagai macam ilmu lagi. Yang lebih bervariasi seperti ilmu filsafat, politik, budaya, dll. Kemudian ia bertemu dengan Jamaluddin Al- Afghani yang membuat Abduh semakin semangat dan lebih matang untuk melakukan suatu modernisasi sistem pendidikan Islam.

Pemikiran Abduh tentang Pendidikan Islam

Hal yang melatarbelakangi munculnya pembaruan pendidikan Islam ini adalah adanya situasi sosial keagamaan masyarakat Mesir yang pada masa itu penuh akan bid’ah, taqlid, khurafat, dan pemikiran yang cenderung statis. Abduh menilai penyebab keterbelakangan masyarakat Mesir ini paling menyayat hati ialah hilangnya tradisi intelektual, yang artinya kebebasan berpikir.

Sistem pendidikan yang ada saat itu melatarbelakangi modernisasi pendidikan Muhammad Abduh. Sebelum itu, yang menggagas pembaruan pendidikan di Mesir adalah Muhammad Ali. Tetapi dia hanya menekankan pada perkembangan intelektual serta hanya memberikan 2 tipe pendidikan. Untuk model pertama adalah sekolah modern dan yang kedua adalah sekolah agama.

Masing-masing sekolah ini mengurus kegiatannya sendiri. Di sekolah agama tidak memberikan pelajaran seperti ilmu modern yang asalnya dari dunia barat sehingga akibatnya perkembangan intelektual tiap siswanya berkurang. Lalu di sekolah modern diberikan ilmu pengetahuan Barat tetapi tidak memberikan pelajaran agama di dalamnya.

Menurut Abduh ada berbagai masalah yang ia temukan di kenyataan yang menyimpang dan menjadi penyebab mundurnya umat Islam. Karena itu, Abduh mengemukakan yang harus dilakukan guna menghadapi masalah itu ialah tajdid al-Fahm yang artinya memperbarui pemahaman kita tentang Islam. Modernisasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam adalah mengungkapkan tujuan pendidikan, menghubungkan antara tujuan yang satu dengan yang lain, seperti tujuan akhir pendidikan didasarkan kepada tujuan dibangunnya suatu sekolah/madrasah.

Kemudian Abduh juga mengemukakan tentang kurikulum di sekolah yang terdiri dari : (a) Untuk tingkat sekolah dasar, membaca, menghitung, menulis, dan pelajaran agama dengan memberikan materi aqidah, akhlak, fiqh, dan sejarah Islam, (b) Untuk tingkat menengah : manthiq dan dasar penalaran, (c) Untuk tingkat atas : tafsir, hadist, bahasa,dll. Selanjutnya Abduh juga memberikan metode pengajaran. Abduh lebih menekankan pada pemahaman  para murid atau siswa di setiap pelajaran yang diberikan. Ia senantiasa mengingatkan ke para guru agar tidak mengajar siswa dengan metode hafalan. Karena, alasannya akan merusak daya nalar. [**]

**Oleh: Fitri Mustikasari
Penulis adalah Mahasiswa Muhammadiyah Malang (UMM)


Tags
SHARE