SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM – Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifah mengatakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tidak memiliki dasar hukum.

“Secara mendasar kita perlu ingat bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek harus mengacu pada Undang-undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Ledia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.

Ia mengemukakan di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka, terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat, karena undang-undang yang menjadi "cantolan" hukumnya saja belum ada.

Dia menambahkan ada beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini jauh dari nilai-nilai Pancasila, bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme.

“Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3," paparnya.

Padahal, lanjutnya, Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan.

Selain ketiadaan landasan norma agama, muatan-muatan peraturan itu banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap. Definisi kekerasan seksualnya menjadi bias, misalnya saja ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender”.

Ditambah Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2. Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban.

"Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” paparnya.

Ledia memberi contoh betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat. “Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah, juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan.” tegasnya

Secara keseluruhan Ledia melihat bahwa isi dari peraturan itu belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal.

“Setelah dicermati, peraturan menteri ini hanya menambah beban birokratisasi administrasi baru dengan segala ketentuan perizinan dan belum menampakkan satu klausul pun yang bisa memastikan proses hukum berjalan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual,” kata Sekretaris Fraksi PKS itu.

Ledia mencontohkan bagaimana Pasal 7 dan 8 yang berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini.

“Padahal, salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah adanya ancaman hukum yang jelas dan tegas secara pidana. Agar orang berpikir seribu kali kalau mau melakukan kejahatan. Permendikburistek ini seolah mengesampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus, karena terlihat lebih fokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus,” imbuh dia.

Oleh karena itu, Ledia berharap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 ini dibatalkan dan Kemendikbudristek bisa lebih fokus pada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Prof Nizam mengatakan tujuan utama Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) bertujuan memastikan hak warga negara terjaga.

“Tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi,” kata Nizam.